Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, selanjutnya semua harus kita serahkan kepada Allah SWT. Kalimat itulah yang terngiang terus di telinga saya sekitar tujuh bulan yang lalu. Waktu itu saya harus belajar untuk menerima keadaan dan berusaha mengambil sekian keputusan yang menyangkut masa depan saya. Di masa itu saya nyaris menjadi manusia putus asa dengan segala penyesalan dan rasa bersalah yang menghalangi pandangan mata saya ke depan. Tujuh bulan yang lalu adalah waktu dimana saya ditolak untuk kesekian kalinya di fakultas kedokteran yang saya harapkan. Penolakan itu merupakan sebuah jawaban dari tes terakhir yang diadakan di periode itu yang berarti saya tidak bisa masuk fakultas kedokteran dalam periode tersebut.
Menjadi seorang dokter adalah sebuah cita-cita yang mungkin nyaris menjadi amanat bagi saya. Almarhum kakek saya sangan menginginkan akan keberadaan seorang dokter di keluarga dan sampai akhir hayatnya keinginan beliau belum tercapai. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di tahun 2001 karena kanker yang terlambat diketahui. Tanggal meninggalnya adalah tepat satu tahun setelah beliau divonis terserang kanker. Selama satu tahun tersebut, saya yang waktu masih berusia 9 tahun, sempat hijrah selama sebulan di rumah sakit karena orang tua saya harus menunggui beliau di rumah sakit. Di situlah saya mengetahui bagaimana pekerjaan seorang dokter yang berusaha sebaik mungkin untuk menolong pasiennya dan menenangkan orang-orang yang menunggui pasiennya. Bahkan sampai kakek saya dibawa kembali ke rumah dokter tersebut masih bersedia untuk menengok kakek saya hamper setiap minggu, padahal dokter tersebut berdomisili di kota yang berbeda dengan kakek saya. setiap kebaikan yang ditunjukkan oleh para dokter tersebut semakin meyakinkan saya bahwa menjadi seorang dokter adalah pekerjaan seseorang baik hati yang bisa menolong banyak orang, meskipun tidak menghilangkan beban seseorang tapi setidaknya bisa menjadi tempat berbagi sedikit solusi hingga beban itu tidak terasa begitu berat. Semenjak saat itu saya mulai merancang mimpi saya untuk menjadi seorang dokter, menebarkan mimpi itu ke orang-orang lain, dan membayangkan akan jadi seperti apa saya nantinya. Semuanya sudah saya rancang dalam sebuah jalan lurus yang nyaris tak bercela.
Tetapi ketika saya akan memasuki jalan lurus tersebut saya menemukan sebuah persoalan pilihan ganda. Di depan mata saya ada sebuah jalan lurus yang mirip dengan jalan rancangan saya, tapi sebelum memasuki jalan tersebut saya harus melalui sebuah jurang yang sayapun tidak tahu seberapa dalamnya dan apa yang ada di dalamnya. Sedangkan, di sebelah saya tersebut terdapat sebuah tikungan yang saya juga tidak tahu arahnya kemana. Dilema terjadi di hati dan kepala saya, apakah saya harus berbalik arah untuk mencari alat yang dapat membantu saya untuk menyebrang jurang, apakah saya harus turun dan memanjat jurang tersebut, atau apakah saya harus masuk ke tikungan yang seperti kotak Pandora bagi saya. di persimpangan itu saya merenung dan berpikir, mencoba untuk menambah dan menghilangkan berbagai jenis kemungkinan. Dengan segala pertimbangan yang saya lakukan dalam prosses pemikiran tersebut saya memutuskan untuk masuk ke dalam tikungan yang tepat ada di sebelah saya. tikungan tersebut membawa saya ke tempat saya berjalan sekarang dengan desain yang tidak saya duga sebelumnya. Saya yakin meskipun ini bukan jalan lurus yang saya rancang sebelumnya, saya akan tetap bisa untuk menata tikungan ini agar berasa semakin nyaman dan semakin banyak cahaya yang bisa masuk ke dalamnya.
Maybe I'll write here like writing in an opened diary, not specified, not very private, and maybe not educated :D
Minggu, 20 Februari 2011
Saya dan sebuah Tikungan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar