Jumat, 30 September 2011

Perobohan Patung Wayang dalam Sebuah Krisis Penghargaan

Saling menghargai selayaknya dimiliki oleh semua manusia yang ada di bumi ini, entah itu dalam hal sederhana dan terutama untuk hal-hal yang bersifat kompleks dan sensitif. Penduduk Indonesia sebagai masyarakat yang berbasis pada kehidupan kekeluargaan dan kerukunan seharusnya memahami cara menghargai sesuatu dengan baik. Namun, pada kenyataannya banyak penduduk Indonesia yang melupakan cara-cara untuk menghargai sesuatu.

Belum lama ini, terjadi peristiwa yang benar-benar mencerminkan sebuah krisis penghargaan yang terjadi pada masyarakat umum. Peristiwa ini terjadi tepatnya pada hari minggu, 18 september 2011 di Purwakarta. sekelompok orang tak dikenal melakukan aksi perobohan dan pembakaran patung wayang sesaat setelah acara halalbilhalal dan istigasah di Masjid Agung kota itu. Menurut informasi yang dihimpun dari beberapa media perusakan patung pertama dilakukan di perempatan Comro. Ribuan massa spontan mengerek patung Gatotkaca menggunakan tambang sebelum ditarik kendaraan. Selanjutnya, mereka bergerak ke pertigaan Bunder dan membidik patung Semar. Belum puas dengan aksi tersebut, massa berbalik arah menuju lokasi patung Bima di pertigaan Ciwareng. Terakhir, perusakan patung "Selamat Datang" di mulut Jalan Gandanegara yang menjadi pusat perkantoran Bupati Purwakarta.

Menurut Iman, seorang saksi mata, massa merobohkan patung-patung tersebut dengan cara ditarik dengan tambang kemudian dibetot kendaraan roda empat. "Setelah ambruk lalu disiram minyak bensin, langsung dibakar," katanya.
Seorang yang terlibat dalam aksi perobohan dan pembakaran patung tersebut mengatakan aksi ini sebagai protes keras terhadap kebijakan Bupati Dedi Mulyadi yang tetap membangun patung-patung wayang golek itu meski telah diberikan peringatan keras beberapa kali.

Peristiwa perobohan patung-patung wayang tersebut tidak diragukan lagi memang merupakan salah satu bentuk dari krisis penghargaan yang sedang terjadi di Indonesia. dalam kasus ini, tanpa berniat untuk menyalahkan pihak-pihak tertentu, krisis penghargaan terjadi pada pihak pemerintah daerah yang menyetujui pembangunan patung dan pada pihak yang melakukan perobohan patung.

Seandainya rencana pembangunan patung-patung wayang tersebut memang sudah ditentang oleh mayoritas masyarakat Purwakarta, tidak selayaknya pihak pemerintah daerah tetap bersikukuh untuk melakukan pembangunan patung. Pada hakikatnya pihak pemerintah seharusnya mengayomi dan menampung aspirasi masyarakatnya dengan baik serta berusaha sebaik mungkin untuk tidak bertentangan dengan masyarakat selama keinginan masyarakat masih berada di dalam batas normal.

Selain menyoroti pihak pemerintah, pihak yang merobohkan patung-patung tersebut juga memiliki penghargaan yang kurang baik, setidaknya terhadap hasil karya orang lain dan terhadap wayang sendiri yang merupakan salah satu seni budaya Indonesia. Selama patung-patung tersebut tidak dimanfaatkan di luar fungsinya sebagai pemberi unsur estetik, tidak ada salahnya patung-patung tersebut berdiri pada tempatnya. Jika mereka yang terlibat memang benar-benar mengatasnamakan agama, tidak seharusnya mereka menutup mata kepada fakta bahwa Indonesia adalah Negara hukum yang menganut kebebasan beragama.
Selengkapnya...

Senin, 26 September 2011

Mudik: Sebuah Kisah Klasik

Pada dasarnya mudik adalah kegiatan yang dilakukan para penduduk kota untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik, yang juga akrab disebut pulang kampung, biasanya dilakukan pada musim liburan panjang, seperti ketika libur lebaran yang terjadi baru-baru ini. Libur panjang yang bertepatan dengan peringatan hari raya idul fitri yang dirayakan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak membatasi hanya umat Muslim saja yang melaksanakan tradisi mudik, bahkan kota Jakarta yang selalu terkenal dengan hiruk pikuknya mendadak lenggang karena mayoritas penduduknya memilih untuk berlibur di kampung halaman mereka.

Tidak bisa dipungkiri, mudik adalah sebuah fenomena besar yang terjadi di Indonesia. sebuah fenomena yang mempengaruhi penduduk Indonesia secara besar-besaran dalam berbagai aspek. jika dilihat secara sederhana para penduduk kota besar melakukan mudik sebagai ajang pelepasan rindu pada keluarga, teman, ataupun hanya untuk melepas lelah dari kepenatan kota dan masuk ke dalam ketenangan masyarakat pedesaan.

Jika ditelusuri secara lebih mendalam sebenarnya mudik mempengaruhi aspek ekonomi dengan sangat kuat. Hal ini terbukti dengan melonjaknya harga berbagai kelengkapan mudik misalnya saja harga tiket transportasi umum ataupun harga rental mobil, tetapi hal ini tidak mempengaruhi niat para penduduk ibu kota untuk melaksanakan ritual mudik. Hal ini disebabkan karena kebanyakan dari mereka sudah memiliki mindset bahwa mudik merupakan suatu kewajiban, maka untuk mengahadapi mudik mereka sudah mempersiapkan budget khusus sejak awal, sehingga berbagai kenaikan harga yang terjadi tidak memberikan efek yang terlalu berat pada kondisi keuangan mereka.

Tidak hanya aspek ekonomi yang dipengaruhi secara besar-besaran oleh kegiatan mudik, karena mudik juga mengakibatkan perputaran kependudukan, karena pada kegiatan mudik ataupun kegiatan setelahnya yang dikenal dengan arus balik seringkali terjadi urbanisasi dan re-urbanisasi secara bersamaan. Pada umumnya yang seringkali disoroti adalah kegiatan urbanisasi yang terjadi ketika arus balik, para warga desa berbondong-bondong ikut pergi ke kota bersamaan dengan sanak keluarganya ataupun teman yang sudah lebih dulu mengadu nasib di kota. Dengan diiming-imingi banyaknya kesempatan kerja merekapun pergi ke kota dengan membawa segenap harapan. Sebaliknya, mereka yang memilih untuk keluar dari kehidupan kota dan kembali menetap di kampung mungkin adalah segelintir orang yang sudah merasakan kejamnya kota besar. Tidak hanya mereka yang memiliki kekecewaan yang memilih untuk kembali menetap di kampong halamannya, tetapi ada juga mereka yang membawa segenap inovasi dan ide cemerlang untuk menjadikan kampungnya lebih baik dari sebelumnya.

Mudik, sebagai sebuah fenomena besar di Indonesia, terjadi hampir setiap tahun, dengan kata lain ini adalah rutinitas yang sudah biasa dilakukan masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Hal-hal yang berkaitan dengan fasilitas mudik seperti halnya infrastruktur jalan yang dilalui arus mudik seharusnya sudah dipersiapkan dengan baik ketika waktu mudik tiba. Tetapi jika kita tengok secara langsung kondisi di lapangan, pembangunan jalan selalu berkejaran dengan waktu arus mudik. Hal ini tentu saja mengurangi kenyamanan para pemudik, karena jika seharusnya mereka dapat menikmati perjalanan mudik dengan santai, kenyataanya justru mereka harus memiliki kewaspadaan tingkat tinggi karena adanya papan bertuliskan “Maaf sedang ada perbaikan jalan”.
Selengkapnya...