Sabtu, 15 Januari 2011

Manusia dan Penderitaan


Penderitaan berasal dari kata derita. Kata derita berasal dari bahasa sansekerta dhra artinya menahan atau menanggung. Derita artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan itu dapat lahir atau batin, atau lahir batin.

Penderitaan termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas penderitaan bertingkat-tingkat, ada yang berat ada juga yang ringan. Namun peranan individu juga menentukan berat-tidaknya intensitas penderitaan. Suatu peristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Dapat pula suatu penderitaan merupakan energi untuk bangkit bagi seseorang, atau sebagai langkah awal untuk mencapai kenikmatan dan kebahagiaan.

Penderitaan akan dialami oleh semua orang, hal itu sudah merupakan “risiko” hidup. Tuhan memberikan kesenangan atau kebahagiaan kepada umatnya, tetapi juga memberikan penderitaan atau kesedihan yang kadang-kadang bennakna agar manusia sadar untuk tidak memalingkan dariNya. Untuk itu pada umumnya manusia telah diberikan tanda atau wangsit sebelumnya, hanya saja mampukah manusia menangkap atau tanggap terhadap peringatan yang diberikanNya? Tanda atau wangsit demikian dapat berupa mimpi sebagai pemunculan rasa tidak sadar dari manusia waktu tidur, atau mengetahui melalui membaca koran tentang terjadinya penderitaan. Kepada manusia sebagai homo religius Tuhan telah memberikannya.
Diantara berbagai macam penderitaan, penderitaan yang menimpa anak. Penderitaan itu bisa didapatkan dari kekerasan semasa kecil, baik secara fisik maupun psikologis. Salah satu yang merupakan kekerasan psikologis terhadap anak adalah pengabaian. Inilah yang sering dialami oleh Secka (22 tahun) sejak usia 10 tahun. Karena kurang kasih sayang dan pengabaian orang tuanya, Secka kecil memilih hidup di kereta Jabotabek dan ikut mencari uang dengan menyemir. Saat orang tuanya berpisah, Secka harus hidup dengan sang nenek di Bogor. Namun karena dianggap bandel dia dikirim ke neneknya di Pademangan Jakarta Utara.
”Dari SD saya sudah dioper-oper dari rumah nenek di bogor trus ikut nenek yang di jakarta bolak balik. Ya gitu dilempar-lempar gitu terus, karena orang tua saya sudah cerai dari kecil, dari setelah saya lahir bahkan,” terang Secka. Sejak SD dia mulai belajar dari lingkungan jalanan bagaimana bertahan hidup dan menjadi seorang manusia. ”Saya belajar bandel dari lingkungan sih, dari temen-temen. Cuma kebawa-bawa aja. Saya ngrokok dan minum dari kelas tiga SD, udah badung. Emang beneran, jauh dari orang tua emang ngaruh, namanya ama nenek, dia kan masih masa bodoh aja,” tambah Secka.  Petualang ini membawa Secka ke Rumah Tahanan selama 3 bulan karena perkelahian dan membawa senjata tajam saat usinya belum genap 17 tahun.  Meski Secka tidak pernah diberi contoh untuk menjadi orang yang penuh kekerasan, tetapi lingkungan mengajarkannya. Sayang disaat ia butuh dampingan, orang tuanya tidak sempat mendampingi.
”Saat ini begitu banyak paradigma orang tua yang keliru. Mereka menganggap seolah-olah anak-anak itu dengan sendirinya bisa hidup dengan baik. ”sesal Kak Seto. Akibat dari paradigma yang keliru ini, sering terjadi pengabaian oleh orang tua terhadap anak-anak dengan membiarkan mereka hidup dalam situasi yang negatif. ”Mereka lupa bahwa bibit unggul tidak bisa hidup dan menghasilkan yang terbaik dengan sendirinya. Bibit unggul hanya bisa tumbuh dengan baik di tanam ditanah yang subur,” tambah Kak Seto.
Menurut Kak Seto, seorang anak, yang baik sekalipun, kalau dia berada dalam lingkungan yang negatif, maka ia akan rusak juga. Dia akan berkembang menjadi negatif. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa melahirkan seorang anak adalah awal dari suatu tanggung jawab yang cukup panjang, termasuk melindungi si anak dari pengaruh-pengaruh negatif dari dalam dan luar rumah, seperti emosi orang tua, tuntutan yang terlalu berat, acara-acara TV yang negatif. Anak memang harus dilindungi. Bibit unggul sebagus apapun jika ditanam ditanah yang tandus dan diterpa topan dan badai ya akan rusak juga.
Pola pendidikan, sosialisasi dan pola interaksi dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan perilaku anak. Kekerasan anak bisa muncul tatkala orang tua kurang perduli terhadap lingkungan pergaulan anak. Berbagai pendapat diungkapkan para pakar mengenai penyebab munculnya perilaku kekerasan di dalam jiwa dan lingkungan anak-anak namun sebagian besar setuju bahwa perilaku kekerasan di lingkungan anak-anak lebih banyak dipengaruhi latar belakang pola pendidikan dalam keluarga.
Sumber:

http://nuri.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/19527/bab6-manusia_dan_penderitaan.pdf http://shintaksari.multiply.com/journal/item/273/Trauma_Anak_BerkepanjanganAkibat_Kekerasan_psikologis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar